ANGELINE...
Berita ditemukannya mayat Angeline, bocah berusia 8
tahun, di pekarangan rumah ibu angkatnya sendiri di Sanur, Bali, begitu
menyentakkan. Sebelumnya, gadis mungil ini diberitakan menghilang dari
rumah sejak bulan Mei lalu. Kakak angkatnya, Yvone, bahkan membuat
sebuah halaman Facebook yang didedikasikan untuk menemukan Angeline yang
hilang. Simpati masyarakat mengalir deras, Bali seolah bergerak mencari
informasi apapun agar bocah malang ini ditemukan. Tak kurang pihak
kepolisian, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan dua menteri
pun terlibat untuk turut menemukan Angeline.
Tak dinyana,
Angeline ternyata tak pernah pergi ke mana-mana. Setelah tiga minggu
pencarian, polisi justru menemukan mayat bocah itu terkubur di bawah
kandang ayam di rumahnya sendiri! Polisi yang menggali ‘kuburan’ bocah
malang itu menahan isak ketika melihat mayat Angeline sudah mulai
membusuk dibungkus sehelai bed cover… Ketika disingkap kain yang
menutupinya, mayat kecil itu meringkuk sambil memeluk sebuah boneka
Korea di dekapannya.
Hati kita hancur mendengar berita ini,
menjadi keping-keping yang rapuh. Siapa yang tega menghabisi nyawa
Angeline? Berbagai spekulasi bagai bola liar yang terus menggelinding.
Polisi menciduk semua orang yang tinggal di rumah itu termasuk ibu dan
kakak angkat Angeline, dua orang yang kos di rumah itu, serta seorang
mantan penjaga rumah bernama Agus untuk dimintai keterangan. Sementara
kita bertanya-tanya: Bagaimana mungkin mereka tidak tahu apa yang telah
menimpa Angeline? Ada yang janggal dengan kakak angkatnya yang justru
secara gencar memberitakan hilangnya gadis mungil itu bahkan
menggerakkan relawan untuk pencariannya, hingga menjadi berita nasional?
Ada yang aneh ketika ibu angkatnya diceritakan terpukul dengan
kehilangan Angeline selama ini!
Belum usai keheranan kita, hasil
visum dan pemeriksaan polisi semakin menyayat dada: Bocah delapan tahun
itu diperkosa sebelum tewas terbunuh dipukul benda tumpul! Pelakunya
adalah orang yang pernah ‘menjaga’ rumahnya. Bahkan sebelum mayat
Angeline dikuburkan, si penjaga rumah itu masih sempat memperkosanya
sekali lagi. Iblis macam apa yang tega melakukan semua ini? Mengapa
tragedi ini harus menimpa bocah kecil yang tak berdosa?
Polisi
masih terus mengembangkan kasus ini dengan intensif memeriksa ibu
angkat, kakak angkat, dan dua orang lain yang tinggal di rumah itu.
Hasil visum menyebutkan bahwa luka-luka dan memar di tubuh Angeline bisa
jadi bukan kekerasan yang dilakukan oleh satu orang saja. Ada dugaan
keluarga angkatnya merekayasa alibi untuk menghilangkan jejak pembunuhan
gadis mungil ini. Apa motifnya? Belum jelas. Konon, Angeline adalah
anak kesayangan ayah angkatnya, warga Jerman yang meninggal tiga tahun
lalu. Mungkinkah semua ini dilatarbelakangi perkara harta?
Entahlah. Yang jelas, kematian Angeline yang tragis menyiskan sejumlah
pertanyaan penting tentang rasa kemanusiaan. Mengapa manusia yang konon
mulia derajatnya bisa bertindak begitu bejat bahkan melampaui binatang?
Iblis macam apa yang hidup di pikiran dan jiwa Agus sehingga tega
melakukan semua itu pada Angeline? Mengapa para tetangga, guru sekolah,
juga orang-orang yang selama ini mengetahui bahwa ada yang tidak beres
dengan Angeline justru diam saja seolah membiarkan kekerasan yang
dialami anak ini terus berlangsung—berulang hingga mengakibatkan
kematiannya yang tragis?
Dengan segala kemalangan dan tragedi
yang menimpa Angeline, semoga kita semakin tersadar bahwa Angeline
bukanlah satu-satunya bocah malang yang mengalami kekerasan dari
orang-orang terdekatnya. Di luar sana, masih banyak Angeline-Angeline
lainnya yang terancam dan bisa kapan saja mengalami nasib yang sama
seperti bocah malang asal Bali itu atau bahkan lebih tragis lagi.
Pertanyaannya, jika kita yang tega melakukan kekerasan kepada anak-anak,
apakah benar-benar telah hilang rasa kemanusiaan kita? Atau, jika kita
mengetahui kekerasan semacam itu terjadi pada seseorang, anak-anak yang
mungkin tinggal di sekeliling kita, apakah kemanusiaan kita juga tak
berdaya dengan hanya membiarkan semuanya tanpa melakukan apa-apa?
Angeline telah pergi untuk selama-lamanya. Sempatkanlah melihat matanya
yang lugu di foto-foto yang tersebar di berbagai media. Sorot mata itu
sebenarnya sering kita temukan pada mata anak-anak lainnya di sekeliling
kita; Anak-anak tak berdosa yang harus memikul derita karena kebiadaban
atau ketakpedulian orang-orang dewasa di sekitarnya. Anak-anak yang
menjadi korban. Barangkali kita tidak bisa menyelamatkan Angeline.
Tetapi kita bisa menyelamatkan anak-anak itu, jika kita tidak diam saja.
Sekarang, mari kita membuat semacam janji: Mari kita hentikan
kekerasan pada anak-anak. Mari kita lawan pelaku kekerasan pada
anak-anak! Mereka yang sewenang-wenang terhadap anak-anak yang tak
berdaya, selalu layak untuk mendapatkan hukuman yang menyakitkan!
Melbourne, 11 Juni 2015
FAHD PAHDEPIE